فَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Maka ketahuilah, sesungguhnya tidak
ada Tuhan melainkan Allah…..(QS. Muhammad: 19)
Jumlah umat Islam kini sangat
banyak. Sebagian besar mereka terkategorikan sebagai Islam keturunan atau
kebetulan terlahir sebagai muslim dari orang tua. Kenyataan akan jumlah yang
banyak tidak berkorelasi dengan pemahamannya kepada Islam secara benar, orisinil
dan utuh. Hakikat memahami Islam dimulai dari memahami inti sari ajarannya
yaitu dua kalimat syahadah (syahadatain). Kalimat tersebut terdiri dari Laa
Ilaaha Illallah dan Muhammadun Rasulullah. Memahami keduanya sangat penting dan
mendasar. Karena jika kita tak memahami hakikat kalimat syahadah, kita dapat
terjerembab ke dalam penyakit kebodohan dan kemusyrikan.
Syahadatain merupakan fondasi atau
asas dari bangunan keislaman seorang muslim. Jika fondasinya tidak kuat maka
rumahnya pun tidak akan kuat bertahan.
Ayat di atas, menjelaskan bahwa umat
Islam tidak dibenarkan hanya sekadar mengucapkan atau melafalkan dua kalimat
syahadah, tetapi seharusnya betul-betul memahaminya. Kata fa’lam berarti “maka
ketahuilah, ilmuilah….” Artinya Allah memerintahkan untuk mengilmui atau
memahami kalimat Laa Ilaaha Illallah bukan sekadar mengucapkannya, tetapi
dengan yang pada gilirannya akan membentuk keyakinan (i’tiqad) dalam hati.
Pentingnya Syahadatain
1. Pintu
gerbang masuk ke dalam Islam (madkholu ilal Islam)
Sebagaimana dalam
Al Quran surat Al Baqarah ayat 208, seorang ulama Ibnu Katsir menjelaskan
tentang ayat tersebut sbb :
يا ايها
الذين آمنوا ادخلوا في السلم كافة .....
يقول تعالى
آمرًا عباده المؤمنين به المصدّقين برسوله: أنْ يأخذوا بجميع عُرَى الإسلام
وشرائعه، والعمل بجميع أوامره، وترك جميع زواجره ما استطاعوا من ذلك.
قال العوفي،
عن ابن عباس، ومجاهد، وطاوس، والضحاك، وعكرمة، وقتادة، والسُّدّي، وابن زيد، في
قوله: { ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ } يعني: الإسلام.
وقال الضحاك،
عن ابن عباس، وأبو العالية، والربيعُ بن أنس: { ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ } يعني:
الطاعة. وقال قتادة أيضًا: الموادعة.
وقوله: {
كَافَّةً } قال ابن عباس، ومجاهد، وأبو العالية، وعكرمة، والربيع، والسّدي، ومقاتل
بن حَيَّان، وقتادة والضحاك: جميعًا، وقال مجاهد: أي اعملوا بجميع الأعمال ووجوه
البر.
Islam ibarat rumah atau bangunan
atau sistem hidup yang menyeluruh, dan Allah memerintahkan setiap muslim untuk
masuk secara kaaffah. Untuk memasukinya akan melalui sebuah pintu gerbang,
yaitu syahadatain. Hal ini berlaku baik bagi kaum muslimin atau non muslim.
Artinya, pemahaman Islam yang benar dimulai dari pemahaman kalimat itu.
Pemahaman yang benar atas kedua kalimat ini mengantarkan manusia ke pemahaman
akan hakikat ketuhanan (rububiyah) yang benar juga. Mengimani bahwa Allah-lah
Robb semesta alam.
1. Intisari
doktrin Islam (Khulashah Ta’aliimil Islam)
Sebagaimana terdapat dalam hadits
nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yakni
عن عبدِ
اللهِ بنِ عُمرَ بن الخطاب رضي الله عنهُما ، قال : سَمِعْتُرَسولَ اللهِ - صلى
الله عليه وسلم - ، يقولُ : (( بُنِي الإسلامُ عَلى خَمْسٍ : شَهادةِ أنْ لا إلهَ
إلاَّ الله ، وأنَّ مُحمَّداً عَبْدُه وَرَسولُهُ ، وإقامِ الصلاةِ ، وإيتاءِ
الزَّكاةِ ، وحَجِّ البيتِ ، وصَومِ رَمضانَ )) . رَواهُ البُخارِي ومُسلمٌ .هذا
الحديثُ خرَّجاه في " الصحيحين "
Intisari ajaran Islam terdapat dalam
dua kalimat syahadah. Asyhadu allaa ilaaha illallah (Aku bersaksi: sesungguhnya
tidak ada Ilaah yang haq selain Allah) dan asyhadu anna muhammadan rasulullah
(Aku bersaksi: sesungguhnya Muhammad Rasul Allah). Pertama, kalimat syahadatain
merupakan pernyataan proklamasi kemerdekaan seorang hamba bahwa ibadah itu
hanya milik dan untuk Allah semata (Laa ma’buda bi haqqin illallah), baik
secara pribadi maupun kolektif (berjamaah). Kemerdekaan yang bermakna
membebaskan dari segala bentuk kemusyrikan, kekafiran dan api neraka. Kita
tidak mengabdi kepada bangsa, negara, wanita, harta, perut, melainkan Allah-lah
yang disembah (al-ma’bud). Para ulama menyimpulkan kalimat ini dengan istilah
Laa ilaaha illallah ‘alaiha nahnu; “di atas prinsip kalimat laa ilaaha illallah
itulah kita hidup, kita mati dan akan dibangkitkan”. Rasulullah juga bersabda
“Sebaik-baik perkataan, aku dan Nabi-nabi sebelumku adalah Laa ilaaha illallah”
(Hadist). Maka sering mengulang kalimat ini sebagai dzikir yang diresapi dengan
pemahaman yang benar ¾ bukan hanya melisankan ¾ adalah sebuah keutamaan yang
dapat meningkatkan keimanan. Keimanan yang kuat, membuat hamba menyikapi semua
perintah Allah dengan mudah. Sebaliknya, perintah Allah akan selalu terasa
berat di saat iman kita melemah. Kalimat syahadatain juga akan membuat keimanan
menjadi bersih dan murni, ibarat air yang suci. Allah akan memberikan dua
keuntungan bagi mereka yang beriman dengan bersih, yaitu hidup aman atau tenteram
dan mendapat petunjuk dari Allah.
Sebagaimana Dia berfirman dalam
Al-Qur’an:
“Orang-orang yang beriman dan tidak
mencampuradukkan iman mereka dengan kezhaliman (syirik), mereka itulah
orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang
mendapatkan petunjuk”(Al-An’am:
82).
Kedua, kita bersaksi bahwa Muhammad
adalah utusan Allah, berarti kita seharusnya meneladani Rasulullah dalam
beribadah kepada Allah. Karena beliau adalah orang yang paling mengerti cara
(kaifiyat) beribadah kepada-Nya. Sebagaimana disabdakan Nabi SAW:
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu
melihat aku shalat…”.
Selanjutnya hal ini berlaku untuk
semua aspek ibadah di dalam Islam.
Beribadah Hanya Dengan Syari’at
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam
Ketahuilah, ibadah bukanlah produk
akal atau perasaan manusia. Ibadah merupakan sesuatu yang diridhoi Alloh, dan
engkau tidak akan mengetahui apa yang diridhoi Alloh kecuali setelah Alloh
kabarkan atau dijelaskan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.
Dan seluruh kebaikan telah diajarkan Rosulullohshollallohu ‘alaihi wa sallam,
tidak tersisa sedikit pun. Tidak ada dalam kamus ibadah sesorang melaksanakan
sesuatu karena menganggap ini baik, padahal Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam tidak pernah mencontohkan. Sehingga tatkala ditanya, “Mengapa
engkau melakukan ini?” lalu ia menjawab,“Bukankah ini sesuatu yang
baik? Mengapa engkau melarang aku dari melakukan yang baik?” Saudaraku,
bukan akal dan perasaanmu yang menjadi hakim baik buruknya. Apakah engkau
merasa lebih taqwa dan sholih ketimbang Rosululloh shollallohu ‘alaihi
wa sallam dan para sahabatnya? Ingatlah sabda Rosululloh shollallohu
‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang melakukan satu amalan (ibadah)
yang tiada dasarnya dari kami maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
Perhatikanlah, ibadah kita harus
mencocoki tatacara Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam
beberapa hal:
Sebabnya. Ibadah kepada Alloh dengan
sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalahbid’ah dan
tidak diterima. Contoh: Ada orang melakukan sholat tahajjud pada malam dua
puluh tujuh bulan Rojab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi’roj
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam(dinaikkan ke atas langit).
Sholat tahajjud adalah ibadah tetapi karena dikaitkan dengan sebab yang tidak
ditetapkan syari’at maka sholat karena sebab tersebut hukumnya bid’ah.
Jenisnya. Artinya ibadah harus sesuai dengan
syariat dalam jenisnya, contoh seseorang yang menyembelih kuda untuk kurban
adalah tidak sah, karena menyalahi syari’at dalam jenisnya. Jenis binatang yang
boleh dijadikan kurban adalah unta, sapi dan kambing.
Kadar (bilangannya). Kalau ada seseorang yang sengaja
menambah bilangan raka’at sholat zhuhur menjadi lima roka’at, maka sholatnya
bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syariat dalam
jumlah bilangan roka’atnya. Dari sini kita tahu kesalahan orang-orang yang
berdzikir dengan menenentukan jumlah bacaan tersebut sampai bilangan tertentu,
baik dalam hitungan ribuan, ratusan ribu atau bahkan jutaan. Mereka tidak
mendapatkan apa-apa kecuali capek dan murka Alloh.
Kaifiyah (caranya).Seandainya ada seseorang berwudhu
dengan cara membasuh tangan dan muka saja, maka wudhunya tidak sah, karena
tidak sesuai dengan cara yang ditentukan syariat.
Waktunya.Apabila ada orang menyembelih
binatang kurban Idul Adha pada hari pertama bulan Dzulhijjah, maka tidak sah,
karena syari’at menentukan penyembelihan pada hari raya dan hari tasyriq saja.
Tempatnya.Andaikan ada orang beri’tikaf di
tempat selain Masjid, maka tidak sah i’tikafnya. Sebab tempat i’tikaf hanyalah
di Masjid.
Wahai saudaraku… Marilah kita
wujudkan tuntutan dua kalimat syahadat ini, yaitu kita menjadikan ibadah yang
kita lakukan semata-mata hanya untuk Alloh dan kita beribadah hanya dengan
syari’at yang dibawa oleh Nabi Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam dalam
setiap tarikan nafas dan detik-detik kehidupan kita, semoga dengan demikian
kita semua menjadi hamba-Nya yang bersyukur, bertaqwa dan diridhoi-Nya. Wallohu
a’lam bish showaab.
3. Dasar-dasar Perubahan (Asasul
Inqilaab)
Perubahan yang dimaksud adalah
perubahan mendasar dalam kehidupan manusia, yaitu perubahan dari kegelapan
(jahiliyah) menuju cahaya (Islam); minazh zhuluumati ilan nuur. Perubahan yang
dimaksud mencakup aspek keyakinan, pemikiran, dan hidupnya secara keseluruhan,
baik secara individu maupun masyarakat. Secara individu, berubah dari ahli
maksiat menjadi ahli ibadah yang taqwa; dari bodoh menjadi pandai; dari kufur
menjadi beriman, dan seterusnya. Secara masyarakat, di bidang ibadah, merubah
penyembahan komunal berbagai berhala menjadi menyembah kepada Allah saja. Dalam
bidang ekonomi, merubah perekonomian riba menjadi sistem Islam tanpa riba, dan
begitu seterusnya di semua bidang. Syahadatain mampu merubah manusia,
sebagaimana ia telah merubah masyarakat di masa Rasulullah dan para sahabat
terdahulu. Diawali dengan memahami syahadatain dengan benar dan mengajak
manusia meninggalkan kejahiliyahan dalam semua aspeknya kepada nilai-nilai
Islam yang utuh.
4. Hakikat Dakwah para Rasul
(Haqiqatud Da’watir Rasul)
Para nabi, sejak Adam a.s sampai
Muhammad saw, berdakwah dengan misi yang sama, mengajak manusia pada doktrin
dan ajaran yang sama yaitu untuk beribadah kepada Allah saja dan meninggalkan
Thogut. Itu merupakan inti yang sama dengan kalimat syahadatain, bahwa tiada
Ilaah selain Allah semata. Seperti difirmankan Allah SWT:
“ Dan sesungguhnya Kami telah
mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja)
dan jauhi thagut itu”(QS 16:36)
5. Keutamaan yang Besar (Fadhaailul
‘Azhim)
Kalimat syahadatain, jika
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, menjanjikan keutamaan yang besar.
Keutamaan itu dapat berupa moral maupun material; kebahagiaan di dunia juga di
akhirat; mendapatkan jaminan surga serta dihindarkan dari panasnya neraka.
Makna “Asyhadu”
Kata “asyahdu” yang terdapat dalam
syahadatain memiliki beberapa arti, antara lain:
1. Pernyataan atau Ikrar (al-I’laan
atau al-Iqraar)
Seorang yang bersyahadah berarti dia
berikrar atau menyatakan – bukan hanya mengucapkan – kesaksian yang tumbuh dari
dalam hati bahwa Tidak Ada Ilaah Selain Allah.
2. Sumpah (al-Qassam)
Seseorang yang bersyahadah berarti
juga bersumpah – suatu kesediaan yang siap menerima akibat dan resiko apapun –
bahwa tiada Ilaah selain Allah saja dan Muhammad adalah utusan Allah.
3. Janji (al-Wa’du atau al-‘Ahdu)
Yaitu janji setia akan keesaan Allah
sebagai Zat Yang Paling Haq untuk disembah. Janji tersebut kelak akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah (QS 7 : 172 ).
Syahadah muslim yang dinyatakan
dengan kesungguhan, yang merupakan janji suci, sekaligus sumpah kepada Allah
SWT; merupakan ruh keimanan. Iman adalah keyakinan tanpa keraguan, penerimaan
tanpa keberatan, kepercayaan terhadap semua keputusan Allah (QS 49:15).
Hakikat Iman
Keimanan itu bukanlah angan-angan,
tetapi mencakup 3 hal:
1. Dikatakan dengan lisan (al-Qaul)
Syahadah diucapkan dengan lisan
dengan penuh keyakinan. Semua perkataan yang keluar dari lisan mukmin
senantiasa baik dan mengandung hikmah.
2. Dibenarkan dengan hati
(at-tashdiiq)
Hati adalah lahan menyemai
benih-benih keimanan. Semua yang keluar dari lisan digerakkan oleh hati. Apa
yang ada dalam hati akan dicerminkan dalam perkataan dan perbuatan. Dalam
hadits Bukhari digambar oleh Nabi SAW bahwa:
“Ilmu (hidayah) yang Aku bawa ibarat
air hujan, ada jenis tanah yang subur menumbuhkan tanaman, ada tanah yang tidak
menumbuhkan hanya menampung air, ada jenis tanah yang gersang, tidak
menumbuhkan juga tidak menampung”.
Allah, dalam al-Qur’an, membagi hati
manusia menjadi tiga, yaitu hati orang mukmin (QS 26: 89), hati orang kafir (QS
2: 7) dan hati orang munafik (QS 2: 10). Hati orang kafir yang tertutup dan
hati munafik yang berpenyakit takkan mampu membenarkan keimanan (at-tashdiiqu
bil qalb). Sedangkan hati orang mukmin itulah yang dimaksud Rasulullah SAW
sebagai tanah yang subur yang dapat menumbuhkan pohon keimanan yang baik. Akar
keyakinannya menjulang kuat ke tanah, serta buah nilai-nilai ihsannya dapat
bermanfaat untuk manusia yang lain.
3. Perbuatan (al-‘Amal)
Perbuatan (amal) digerakkan atau
termotivasi dari hati yang ikhlas dan pembenaran iman dalam hati. Seseorang
yang hanya bisa mengucapkan dan mengamalkan tanpa membenarkan di hati, tidak
akan diterima amalnya. Sifat seperti itu dikategorikan sebagai orang munafik,
yang selalu bicara dengan lisannya bukan dengan hatinya. Karena munafik
memiliki tiga tanda: bila berbicara ia berdusta, bila berjanji ia ingkar, bila
diberi amanah ia berkhianat.
Perkataan, pembenaran di hati dan
amal perbuatan adalah satu kesatuan yang utuh. Ketiganya akan melahirkan sifat
istiqamah, tetap, teguh dan konsisten. Sebagaimana dijelaskan dalam QS 41:30,
sikap istiqamah merupakan proses yang terus berjalan bersama keimanan. Mukmin
mustaqim akan mendapatkan karunia dari Allah berupa:
·
Keberanian (asy-Syajaa’ah), yang lahir dari keyakinan
kepada Allah. Berani menghadapi resiko tantangan hidup, siap berjuang meskipun
akan mendapatkan siksaan. Lawan keberanian adalah sifat pengecut.
·
Ketenangan (al-Ithmi’naan), yang lahir dari keyakinan
bahwa Allah akan selalu membela hamba-Nya yang mustaqim secara lahir batin.
Lawannya adalah sifat bersedih hati.
·
Optimis (at-Tafaa’ul), lahir dari keyakinan terhadap
perlindungan Allah dan ganjaran Allah yang Maha sempurna. Orang yang optimis
akan tenteram akan kemenangan hakiki, yaitu mendapatkan keridhaan Allah
(mardhatillah).
Ketiga karunia Allah kepada orang
mustaqim akan dilengkapi Allah dengan anugerah kebahagiaan hidup (as-Sa’aadah),
baik di dunia dan akhirat.Inilah pemahaman terhadap konsep syahadah. Tidak
mudah dalam pelaksanaannya, karena kita berharap agar Allah memberikan
kesabaran dalam memahaminya.Wallahu ‘alam bish shawab.
Referensi :
Kitabu Tauhid, Syaikh Shaleh Al Fauzan
Al Ushul Ats Tsalatsah, Syaikh Ibn Utsaimin
disadur dari: http://www.smpalirsyad-purwokerto.sch.id/artikel/syahadatain-sebagai-titik-tolak-perubahan-seorang-muslim.html
0 komentar:
Posting Komentar