Diceritakan
oleh Sayyid Quthb dalam bukunya Keadilan sosial Islam (Al Adalah Al
ijtimaiyyah fi al Islam) , cerita yang didengarnya dari Ahmad Syafik
Pasya , ahli sejarah yang terkenal, yang hidup pada masa pemerintahan
Ismail di Mesir. Peristiwa ini berkenaan dengan kunjungan Sultan Abdul
Azis ke Mesir pada masa pemerintahan Ismail.
Ismail betul-betul menyambut gembira kunjungan ini karena itu
termasuk dalam program untuknya mendapatkan gelar “Khadive” , berikut
hak-hak istimewa lainnya dalam pemerintahan Mesir . Salah satu acara
kunjungan itu adalah temu muka antara ulama Mesir dengan khalifah.
Tradisi yang biasa berlangsung setiap orang yang memasuki ruang
pertemuan nanti terlebih dahulu harus sujud ke tanah dan memberikan
penghormatan ala Turki tiga kali, dan upacara-upacara lainnya yang sama
sekali tidak terdapat dalam ajaran Islam. Untuk itulah jauh-jauh hari
sebelumnya, kepada para ulama itu diberikan latihan upacara oleh para
petugas istana agar tiba saatnya pertemuan itu mereka tidak akan
melakukan kesalahan di depan Sultan Turki itu.
Tibalah saat yang dinanti-nantikan itu, dengan tertib para ulama yang
mulia itu pun memasuki ruangan, mereka benar-benar mengikuti upacara
itu dengan melupakan ajaran agamanya dan menukarnya dengan tatacara
duniawi . Satu persatu mereka sujud di depan sesama makhluk , kemudian
keluar dengan cara membelakangi pintu, sementar muka tetap menghadap
Sultan- persis seperti yang diinstruksikan parap pengawal istana. Hanya
satu orang saja yang tidak mau melakukan ketololan itu, yaitu Syekh
Hasan al-Adawi. Ia tetap teguh pada ajaran agamanya, dengan mencampakkan
kehormatan dunia. Ia tetap memegang prInsip bahwa yang mulia dan pantas
untuk dihormati dan sujud kepada hanyalah Allah subhanahu wa Ta’ala.
Ia memasuki ruangan tetap dengan kepala tegak sebagai seorang yang
merdeka menghadap sesamanya. Lalu menghadap Sultan dengan menyampaikan
salam,” Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, ya Amirul Mukminin”.
Kemudian dilanjutkan dengan memberikan petuah-petuah dan nasihat.
Selesai acara tatap muka pun ia menyampaikan salam dan keluar dengan
kepala tegak.
Melihat sikap ulama yang satu ini, gemetarlah semua calon Khadive
dan pegawai istana, rasanya bumi yang mereka injak sudah terballik.
Khalifah pasti murka, demikian anggapan mereka dan kalau betul itu
terjadi niscaya lenyaplah sudah harapan memperoleh gelar Khadive yang sudah lama diidam-idamkan.
Akan tetapi, iman terhadap kebenaran tak mungkin sirna begitu saja,
selalu ada kalbu yang siap melontarkannya dengan penuh keberanian dan
merdeka, sebagaimana tertanamnya iman itu pun dengan kuat dan merdeka
pula. Dengan apa yang terjadi kemudian..? Sultan Turki itu bukannya
murka malahan berkata : “ Kalian sama sekali tak memiliki ulama, selain
yang satu ini!” setelah peristiwa itu, Ismail dipecat dari jabatannya
dan digantikan orang lain.
*********
Kisah berikut ini terjadi di Darul Ulum antara Khadive Taufik Pasya
dan Syeikh Hasan Ath-Thawil. Adalah kebiasaan Prof. Hasan Ath-Thawil
selalu mengenakan pakaian sederhana, Sekalipun ia guru besar pada
perguruan tinggi tersebut. Pada hari wisuda sarjana, inspektur
pendidikan mengumumkan bahwa khadive taufiq bermaksud mengunjungi
perguruan tinggi yang diasuhnya. Maka dipersiapkanlah acara penyambutan
dengan mempercantik madrasah tersebut dan yang termasuk ‘diperbaharui’
adalah penampilan Prof. Hasan ath-Thawil agar menggunakan busana yang
lebih necis dan modis.
Untuk maksud tersebut dikirimkan kepadanya seperangkat jubah
kebesaran lengkap dengan toganya, sehingga dengan demikian diharapkan
penampilannya cukup layak untuk menyambut pembesar negerinya.
Tibalah pada hari yang ditentukan.. ternyata sang prorofessor masih
tetap dengan penampilannya sehari-hari sambil ditangannya terkepit sapu
tangan besar pembungkus pakaian kebesaran itu.
Melihat penampila professor yang seperti tu merah padamlah wajah
inspektur pendidikan , lau mendekatinya dan bertanya,” Dimana anda
simpan jubah dan toga itu , Professor?”
“Ini dalam bungkusan” jawab Professor dengan tenang, lalu
meninggalkan inspektur itu yang masih menduga barangkali pakaian itu
akan dikenakannya menjelang datangnya Khadive nanti. Memikirkan sang
Professor akan menggunakannya, agak tenanglah hatinya.
Menitpun berlalu, suara gegap gempita mulai terdengar pertanda
iringan Khadive sudah mendekati kampus. Pada saat itu terlihatlah
pemandangan yang sangat mengagetkan para dosen, khususnya sang
inspektur. Ternyata Syeikh Hasan Ath-Thawil menyambut sang Khadive
dengan menenteng bungkusan pakaina kebesaran itu.
Ketika berhadapan ia langsung berkata ,” Mereka mengatakan saya harus
menyambut Tuan dengan jubah dan toga, itulah sebabnya saya sekarang
membawa kedua benda itu. Bila Tuan bermaksud menemui jubah dan toga,
maka inilah dia (sembari menyodorkan bungkusan yang sejak tadi
dikempitnya). Akan tetapi , bila tuan ingin menemui Hasan Ath-Thawil,
sayalah orangnya..”
Mendengar alasan sang Professor itu , dengan amat wajar sang Khadive
menjawab bahwa ia ingin menemui Hasan Ath-Thawil dan bukan jubah dan
toga itu.
Inilah akhlak seorang mukmin, yang tak pernah merasa terhormat selain
dengan keagungan islam. Jiwa dan hati nuraninya tetap bebas merdeka
dari semua ikatan nilai-nilai lahiriah yang bersifat fana . Islam telah
memberikan pemahaman mendalam terhadap hakikat kebenaran dan menanamkan
perasaan tersebut di hati pemeluknya. Sehingga tidak lagi menganggap
perlu pujian dan imbalan dari manusia. (Lr)
0 komentar:
Posting Komentar